PAN Dan Demokrat Boleh Merapat Tapi Jangan Kasih Kursi Menteri



Pilpres 2019 sudah hampir selesai. Pemenangnya pun sudah bisa dipastikan. Lembaga survey terpercaya dan data real count KPU yang terus di update oleh KPU, walau masih sekian persen, masih menempatkan pasangan 01 Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang. Dengan selisih angka cukup jauh. Namun begitu, kita harus tetap menunggu kerja KPU selesai dan menetapkan hasilnya. Sabar. Orang sabar di sayang Tuhan. Orang gak sabar ya bubar.

Kekalahan Prabowo yang sudah di depan mata mulai ditanggapi realistis oleh koalisi Prabowo. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Plan selanjutnya adalah mendekati pemenang. Ini penting demi eksistensi di pemilu mendatang. Tak ada rencana yang terlalu awal dalam politik. Peluang sekecil apapun harus dimaksimalkan demi keuntungan Partai. Prabowo sudah tidak menguntungkan lagi dalam hitung-hitungan politik.

Partai Amanat Nasional atau PAN misalnya, sang Ketum, Zulkifli Hasan, sudah menemui Jokowi. Walau banyak yang mengatakan bahwa itu hanya pertemuan biasa saja dan tidak membicarakan urusan politik. Tetapi tak sedikit pula yang berspekulasi bahwa Zulkifli Hasan merubah arah dukungan. Spekulasi PAN merapat ke kubu Jokowi bukan tanpa sebab.

Jika kembali ke Pilpres 2014 yang lalu juga PAN ada di kubu Prabowo-Hatta. Tapi 2015 PAN mengalihkan dukungan ke Jokowi dan lalu mendapat jatah menteri. Lalu apa alasan sekarang PAN tidak melakukan hal serupa?

Dan juga berembus kabar bahwa Zulkifli Hasan melobi kursi pimpinan MPR untuk PAN untuk periode 2019-2024. “Kabar bergabungnya PAN ke koalisi pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin kian santer. Ketum PAN Zulkifli Hasan disebut sudah melobi Jokowi untuk bisa kembali mendapatkan kursi pimpinan MPR di parlemen untuk periode 2019-2024.

"Bahwa minta itu saya dengar memang ada meminta, peran apa yang kira-kira dilakukan oleh PAN. Itu sesuai dengan resources atau sumber daya yang ada di PAN. Ada pembicaraan soal kursi pimpinan MPR," ujar Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Johnny G Plate, kepada detikcom, Selasa (30/4/2019)” (detik.com)

Bersamaan dengan Zulkifli Hasan bertemu Jokowi, Waketum PAN mengeluarkan statemen yang mengejutkan. Hal yang seharusnya tidak diutarakan sebagai bagian dari koalisi Prabowo, mengingat Prabowo sedang hobi sujud sukur. “Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan meminta Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Djoko Santoso tidak membuat klaim kemenangan tanpa data yang valid.

"Jangan kita melakukan klaim kemenangan tapi tanpa data valid dan kredibel," ujar Bara di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (25/4). (CNNIndonesia.com)

Selain PAN, Demokrat juga diisukan dibukakan pintu merapat ke Jokowi. Menurut saya Partai Demokrat memang sejak awal bersikap tidak serius di kubu Prabowo. Ada beberapa indikatornya. Pengamat politik juga melihat hal yang sama. Tapi intinya PD sebenarnya setengah hati berjalan bersama Prabowo.

Saya pribadi masih belum bisa melihat apa keuntungan bagi pemerintahan Jokowi jika PD bergabung Apalagi pilpres sudah selesai dan Jokowi menang. Yang ada malah keuntungan bagi PD jika bergabung ke Jokowi.

Koalisi Jokowi saat ini sudah menguasai 60 persen lebih kursi di Parlemen. Itu berarti bahwa harmonisasi pemerintah dengan DPR akan dipastikan kuat. Jokowi akan mudah merealisasikan janji kampanye demi kesejahteraan masyarakat.

Soal Demokrat ini saya ingat ketika bu Megawati jadi presiden. Kala itu bu Megawati mengangkat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, bapaknya AHY menjadi menteri Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Tetapi ternyata posisi SBY sebagai Menteri justru dijadikan keuntungan dan strategi untuk maju dipilpres 2004 melawan Megawati yang juga kembali mencalonkan diri. Ada yang salah? Sekilas tidak.

Namun SBY licik dan tidak sportif. Playing victim seolah dizolimi Mega, kemudian ditanya apakah akan maju mencalonkan diri di pilpres 2004 SBY menjawab tidak. Tapi faktanya SBY maju sebagai capres. Baru dua hari mengundurkan diri sebagai Menko Polkam SBY kemudian kampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat, partai yang didirikannya.

(http://12122am.blogspot.com/2013/06/awal-mula-konflik-megawati-sby.html)

"Dia itu tidak sportif. Omongannya tidak bisa dipercaya. Kalau anda ingat, SBY itu kan sebelumnya dipecat oleh Presiden Gus Dur sebagai Menteri Pertambangan. Tapi saya angkat dia sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, setelah saya menggantikan Gus Dur," tulis Derek menirukan ucapan Megawati.

Derek melanjutkan, menurut Mega, seusai dilantik sebagai Menko Polkam, pada tahun 2001, SBY sembari mengucapkan terima kasih, juga berbisik: "Saya akan kawal ibu hingga tahun 2009."

Di sini Mega menafsirkan SBY akan siap berjuang dengan Mega bukan hanya sampai tahun 2004. Melainkan periode berikutnya. Tahun 2004-2009.

Saat Mega memutuskan akan maju kembali dalam Pilpres 2004, Mega sempat mengajak SBY untuk menjadi pasangannya sebagai cawapres. Tapi SBY, menurut Mega menolak sambil menyampaikan ucapan terima kasih. SBY beralasan dia cukup ingin menjadi anggota kabinet (Menteri) saja.

Di saat yang hampir bersamaan Jenderal (Purn) AM Hendropriyono selaku Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) memberi laporan bahwa ada tanda-tanda SBY sedang membangun partai baru. Partai ini akan dijadikannya sebagai kendaraan politik dalam Pilpres 2004.

Mega kemudian memanggil SBY dan menanyakan langsung atas laporan tersebut. Tapi SBY membantah. Nyatanya, SBY memang maju sebagai calon presiden mewakili Partai Demokrat, partai yang baru didirikan. (merdeka.com).

Saya sih tidak berharap AHY akan seperti SBY dulu. Tetapi menerima PD dalam pemerintahan Jokowi sejatinya hanya menguntungkan PD ke depannya. PD akan dengan mudah membranding AHY untuk 2024 secara massif dan gratis. Apalagi PD tidak ikut berjuang memenangkan Jokowi.

Jadi jangan sampai kubu Jokowi menyesal nantinya karena telah menerima PD dalam koalisi pemerintah. Karena tak mungkin menerima PD tanpa memberi jatah kursi menteri. Dan tak mungkin pula kursi menteri jatah PD untuk Hinca atau Ferdinand. Pasti untuk AHY. Dan kalau sudah begitu, AHY sudah mulai pemanasan untuk pilpres 2024.

Menurut saya, memberi kursi sekelas menteri kepada PAN dan Demokrat hanya menguntungkan mereka. Tanpa susah payah mereka dapat posisi menteri. Padahal mereka selama pilpres ini menjadi oposisi. Apalagi koalisi Jokowi sudah dipastikan akan menguasai 60 persen lebih kursi di Parlemen, yang secara teori akan mempermudah kerja Presiden.

Jadi tak ada alasan mendesak Jokowi butuh PAN dan Demokrat dalam pemerintahannya yang kedua ini. Atau bolehlah menerima PAN dan Demokrat tapi tidak diberi kursi Menteri.
loading...

Berita Terkait